Nama : Elsa Restiyanti
Kelas : 2 eb 22
NPM : 22210345
Mata Kuliah : Aspek Hukum dalam Ekonomi (softskill)
HUKUM PERIKATAN
1. Pengertian Hukum Perikatan
Asal
kata perikatan dari obligatio (latin), obligation (Perancis, Inggris)
Verbintenis (Belanda = ikatan atau hubungan). Selanjutnya Verbintenis
mengandung banyak pengertian, di antaranya:
Perikatan
adalah hubungan hukum yang terjadi di antara dua orang (pihak) atau lebih,
yakni pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi
prestasi, begitu juga sebaliknya.
Perjanjian
adalah peristiwa di mana pihak yang satu berjanji kepada pihak yang lain untuk
melaksanakan suatu hal. Dari perjanjian ini maka timbullah suatu peristiwa
berupa hubungan hukum antara kedua belah pihak.
Intinya,
hubungan perikatan dengan perjanjian adalah perjanjian yang menimbulkan
perikatan. Perjanjian merupakan salah satu sumber yang paling banyak
menimbulkan
perikatan,
karena hukum perjanjian menganut sistim terbuka. Oleh karena itu, setiap
anggota masyarakat bebas untuk mengadakan perjanjian.
2. Dasar Hukum Perikatan
Dasar
hukum perikatan berdasarkan KUHP perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai
berikut:
·
Perikatan yang timbul dari persetujuan
(perjanjian).
·
Perikatan yang timbul undang-undang.
·
Perikatan yang berasal dari
undang-undang dibagi lagi menjadi undang-undang saja dan undang-undang dan
perbuatan manusia. Hal ini tergambar dalam Pasal 1352 KUH Perdata
Perikatan
terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige
daad) dan perwakilan sukarela ( zaakwarneming).
3. Azas-azas dalam Hukum Perikatan
Azas-azas
hukum perikatan diatur dalam Buku III KUH Perdata, yakni :
a. Azas
Kebebasan Berkontrak
Dalam Pasal 1338 KUH
Perdata yang menyebutkan bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah
bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya.
Dengan demikian, cara ini dikatakan
‘sistem terbuka’, artinya bahwa dalam membuat perjanjian ini para pihak
diperkenankan untuk menentukan isi dari perjanjiannya dan sebagai undang-undang
bagi mereka sendiri, dengan pembatasan perjanjian yang dibuat tidak boleh
bertentangan dengan ketentuan undang-undang, ketertiban umum, dan norma
kesusilaan.
b. Azas
Konsensualisme
Azas ini berarti, bahwa
perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata sepakat antara pihak mengenai
hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan sesuatu formalitas.
Dalam Pasal 1320 KUH
Perdata, untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat adalah kata
sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri, yaitu :
·
Kata sepakat antara para pihak yang
mengikatkan diri.
·
Cakap untuk membuat suatu perjanjian.
·
Mengenai suatu hal tertentu.
·
Suatu sebab yang halal.
4. Wan Prestasi dan Akibatnya
Wansprestasi
timbul apabila salah satu pihak (debitur) tidak melakukan apa yang
diperjanjikan, misalnya ia (alpa) atau ingkar janji. Adapun bentuk dari
wansprestasi bisa berupa empat kategori, yakni :
·
Tidak melakukan apa yang disanggupi akan
dilakukannya.
·
Melaksanakan apa yand dijanjikannua, tetapi
tidak sebagaimana yang dijanjikan.
·
Melakukan apa yang dijanjikan tetapi
terlambat.
·
Melakukan sesuatu yang menurut
perjanjian tidak boleh dilakukan.
Akibat-akibat
Wansprestasi
Akibat-akibat
wansprestasi berupa hukuman atau akibat-akibat bagi debitur yang melakukan
wansprestasi , dapat digolongkan menjadi tiga kategori, yakni :
1) Membayar
Kerugian yang Diderita oleh Kreditur (Ganti Rugi)
Ganti rugi sering diperinci meliputi tiga unsur, yakni :
·
Biaya adalah segala pengeluaran atau
perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh salah satu pihak.
·
Rugi adalah kerugian karena kerusakan
barang-barang kepunyaan kreditor yang diakibat oleh kelalaian si debitor;
·
Bunga adalah kerugian yang berupa
kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditor.
2) Pembatalan
Perjanjian atau Pemecahan Perjanjian
Di dalam
pembatasan tuntutan ganti rugi telah diatur dalam Pasal 1247 dan Pasal 1248 KUH
Perdata. Pembatalan perjanjian atau pemecahan perjanjian bertujuan membawa
kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan.
3) Peralihan
Risiko
Peralihan
risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di
luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa barang dan menjadi obyek
perjanjian sesuai dengan Pasal 1237 KUH perdata.
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar